BAGAIMANA PARA TAIPAN MENGENDALIKAN PEREKONOMIAN NASIONAL?

OPINI & ANALISIS

Marxius

3/31/20253 min read

Pendahuluan: Kapitalisme yang Bukan Lagi Bebas

Karl Marx, dalam Das Kapital (1867), dengan tajam mengkritik bagaimana kapitalisme membentuk kelas sosial yang timpang: kaum borjuis yang menguasai alat produksi dan kaum proletar yang hanya menjual tenaga kerja. Namun, kapitalisme modern telah berevolusi ke bentuk yang lebih canggih: kapitalisme kroni. Dalam sistem ini, negara dan segelintir taipan bersekongkol, menciptakan oligarki ekonomi yang memperkaya segelintir elite dengan mengorbankan mayoritas rakyat.

Kapitalisme Kroni dan Oligarki Ekonomi

Kapitalisme kroni adalah sistem di mana bisnis besar tidak berkembang karena inovasi atau efisiensi, tetapi karena kedekatan dengan kekuasaan politik (Hellman, Jones, & Kaufmann, 2000). Oligarki ekonomi yang terbentuk tidak hanya mengendalikan sektor-sektor strategis seperti perbankan, energi, dan properti, tetapi juga menentukan arah kebijakan ekonomi nasional demi keuntungan pribadi.

Sebagai contoh, di Indonesia, berbagai studi menunjukkan bahwa konglomerat besar memiliki akses istimewa terhadap regulasi, perbankan, dan tender proyek pemerintah (Winters, 2011). Hal ini menciptakan lingkungan bisnis yang tidak sehat di mana pemain kecil sulit bersaing karena kebijakan yang dibuat lebih menguntungkan korporasi besar.

Neoliberalisme: Topeng bagi Kapitalisme Kroni?

Neoliberalisme sering didengungkan sebagai solusi untuk pertumbuhan ekonomi dan efisiensi pasar. Namun, dalam praktiknya, neoliberalisme justru menjadi instrumen bagi kaum elite untuk mengakumulasi kekayaan dengan dalih liberalisasi ekonomi (Harvey, 2005). Privatisasi BUMN, deregulasi sektor keuangan, dan kebijakan pajak yang menguntungkan korporasi adalah beberapa contoh bagaimana kapitalisme kroni bekerja di bawah tameng neoliberalisme.

Krisis 1998 adalah bukti nyata bahwa kapitalisme kroni dapat membawa bencana bagi perekonomian nasional. IMF dan Bank Dunia memaksa Indonesia untuk melakukan reformasi ekonomi yang justru memperparah ketimpangan sosial. Sementara rakyat kecil harus menanggung dampak PHK massal dan inflasi, para taipan yang memiliki koneksi dengan kekuasaan tetap dapat menyelamatkan aset mereka (Stiglitz, 2002).

Subsidi untuk Elite, Beban untuk Rakyat

Ironisnya, dalam kapitalisme kroni, subsidi dan insentif negara sering kali mengalir ke kantong pengusaha besar alih-alih kepada masyarakat yang membutuhkan. Studi oleh Piketty (2014) menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal sering kali lebih menguntungkan pemilik modal daripada pekerja. Subsidi energi, misalnya, sering kali lebih banyak dinikmati oleh industri besar dibandingkan masyarakat miskin (Di John, 2006).

Selain itu, skema bailout perbankan dan proyek infrastruktur yang dibiayai utang negara sering kali berakhir memperkaya konglomerat yang memiliki akses istimewa ke sumber daya negara (Robison & Hadiz, 2004). Alih-alih redistribusi kekayaan, yang terjadi adalah semakin menguatnya dominasi ekonomi segelintir elite.

Menuju Ekonomi yang Lebih Demokratis

Untuk melawan kapitalisme kroni, diperlukan strategi struktural yang tidak hanya mengandalkan kebijakan populis, tetapi juga transformasi sistem ekonomi yang lebih demokratis. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Reformasi Pajak Progresif – Mengurangi kesenjangan ekonomi dengan sistem pajak yang lebih adil (Saez & Zucman, 2019).

  2. Transparansi dan Reformasi Politik – Menghilangkan praktik state capture oleh oligarki.

  3. Nasionalisasi Sektor Strategis – Mengembalikan kendali ekonomi kepada negara dengan prinsip kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan elite.

  4. Ekonomi Berbasis Koperasi dan Sosialisme Demokratik – Menciptakan sistem produksi yang lebih inklusif dan berbasis kepentingan kolektif.

Kesimpulan: Rakyat Harus Melawan!

Kapitalisme kroni bukan sekadar penyakit ekonomi, tetapi juga bentuk eksploitasi struktural yang menghambat kesejahteraan rakyat. Jika dibiarkan, sistem ini akan terus memperbesar kesenjangan sosial dan menjadikan demokrasi sebagai ilusi belaka. Seperti yang dikatakan Marx, "Kaum proletar tidak memiliki apa-apa selain rantai yang membelenggu mereka – dan mereka harus menghancurkannya!" (Marx & Engels, 1848).

Daftar Referensi

  • Di John, J. (2006). The Political Economy of Taxation and State Resilience in Developing Countries. International Journal of Business and Economics.

  • Harvey, D. (2005). A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press.

  • Hellman, J., Jones, G., & Kaufmann, D. (2000). Seizing the State, Seizing the Day: State Capture and Influence in Transition Economies. World Bank Research Paper.

  • Marx, K., & Engels, F. (1848). The Communist Manifesto.

  • Piketty, T. (2014). Capital in the Twenty-First Century. Harvard University Press.

  • Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge.

  • Saez, E., & Zucman, G. (2019). The Triumph of Injustice: How the Rich Dodge Taxes and How to Make Them Pay. W. W. Norton & Company.

  • Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and Its Discontents. W. W. Norton & Company.

  • Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.