DARI RUANG RAPAT KE RUANG PARLEMEN: BAGAIMANA LOBI POLITIK MENCETAK KEBIJAKAN?

OPINI & ANALISIS

Wrightsky

3/31/20253 min read

Dari Ruang Rapat ke Ruang Parlemen: Bagaimana Lobi Mencetak Kebijakan?

Pendahuluan: Demokrasi atau Plutokrasi?

Bayangkan sebuah ruangan dengan cahaya remang, meja panjang penuh dokumen rahasia, dan para eksekutif yang berbicara dengan nada penuh kepastian. Tidak ada siaran langsung, tidak ada partisipasi rakyat, hanya keputusan yang kelak akan menentukan harga pangan, tarif energi, atau bahkan arah kebijakan fiskal. Fenomena ini bukan sekadar fiksi, tetapi realitas yang terjadi dalam lobi-lobi kekuasaan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pertanyaannya: sejauh mana lobi bisnis memengaruhi kebijakan ekonomi dan politik kita? Apakah keputusan yang diambil di ruang rapat akhirnya menentukan nasib rakyat lebih dari suara yang dicoblos di bilik pemilu?

Sejarah Lobi: Dari Kartel Kolonial ke Konglomerat Modern

Lobi politik di Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejak era kolonial, kelompok bisnis telah berusaha mengamankan kepentingannya melalui kedekatan dengan penguasa. Pada masa Hindia Belanda, perusahaan-perusahaan perkebunan dan perdagangan seperti Deli Maatschappij memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan kolonial, menentukan regulasi tenaga kerja, dan bahkan mendorong intervensi militer demi melindungi aset mereka (Dick, 2002).

Pada era Orde Baru, rezim Soeharto membentuk sistem ekonomi yang terpusat pada konglomerasi dan kroni. Perusahaan seperti Salim Group, Sinar Mas, dan Astra berkembang pesat dengan dukungan negara, termasuk akses eksklusif terhadap proyek-proyek infrastruktur dan kredit dari bank pemerintah (Robison & Hadiz, 2004). Dalam sistem ini, batas antara sektor publik dan swasta menjadi kabur: pebisnis bukan hanya menjadi mitra pemerintah, tetapi juga menjadi bagian dari struktur kekuasaan itu sendiri.

Lobi dalam Reformasi: Demokratisasi atau Oligarki yang Beradaptasi?

Pasca-reformasi 1998, banyak yang berharap bahwa liberalisasi politik akan mengurangi pengaruh oligarki dalam kebijakan negara. Namun, realitas menunjukkan bahwa para konglomerat hanya mengubah strategi mereka. Alih-alih bergantung pada kedekatan dengan penguasa tunggal seperti Soeharto, mereka mulai membangun jejaring di berbagai partai politik, membiayai kampanye, dan bahkan mengisi jabatan publik secara langsung (Winters, 2011). Fenomena ini dikenal sebagai "state capture," di mana kebijakan negara bukan lagi hasil kompromi antara rakyat dan wakilnya, melainkan produk dari negosiasi eksklusif antara elite bisnis dan elite politik.

Salah satu contoh konkret adalah Undang-Undang Minerba 2020, yang disahkan dengan sejumlah klausul yang menguntungkan korporasi tambang besar. Regulasi ini memungkinkan perpanjangan izin usaha tambang tanpa mekanisme lelang yang kompetitif, sebuah kebijakan yang jelas menguntungkan segelintir perusahaan dibandingkan kepentingan nasional (Aspinall & Mietzner, 2020). Begitu pula dalam sektor keuangan, di mana regulasi perbankan sering kali diatur dengan mempertimbangkan kepentingan pemegang saham mayoritas ketimbang stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

Politik Lobi di Era Digital: Transparansi atau Manipulasi?

Dengan berkembangnya teknologi informasi, banyak yang berpendapat bahwa era digital dapat meningkatkan transparansi dan partisipasi publik dalam proses kebijakan. Namun, realitasnya tidak sesederhana itu. Kini, lobi tidak hanya terjadi di balik pintu tertutup, tetapi juga melalui strategi komunikasi digital seperti astroturfing (kampanye opini publik yang terlihat organik tetapi sebenarnya direkayasa oleh korporasi) dan penggunaan data besar untuk memengaruhi preferensi politik masyarakat (Zuboff, 2019).

Perusahaan teknologi besar seperti Facebook dan Google telah menunjukkan bagaimana lobi digital dapat membentuk regulasi yang menguntungkan mereka, termasuk dalam isu perlindungan data dan pajak digital. Di Indonesia, fenomena serupa terjadi ketika perusahaan-perusahaan ride-hailing seperti Gojek dan Grab melobi regulasi transportasi online, memastikan bahwa kepentingan mereka tetap terlindungi meskipun mendapat tekanan dari berbagai kelompok masyarakat (Nugroho et al., 2018).

Kesimpulan: Apa yang Bisa Dilakukan?

Ketika ruang rapat lebih berkuasa daripada parlemen, maka yang terjadi bukan demokrasi, melainkan plutokrasi terselubung. Namun, ini bukan berarti rakyat tidak punya daya. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam proses kebijakan adalah:

  1. Mendorong regulasi lobi yang lebih ketat – Indonesia masih minim aturan terkait transparansi lobi, berbeda dengan AS atau Uni Eropa yang memiliki sistem registrasi lobi yang lebih jelas.

  2. Menggunakan teknologi untuk meningkatkan partisipasi publik – Open data dan platform digital dapat digunakan untuk mengawasi pengaruh oligarki dalam pembuatan kebijakan.

  3. Memperkuat independensi lembaga pengawas – KPK, Ombudsman, dan lembaga lainnya harus memiliki wewenang lebih kuat untuk menyelidiki hubungan antara elite bisnis dan kebijakan negara.

Seperti yang dikatakan Wright Mills (1956), "Elite kekuasaan tidak hanya berkuasa atas negara, tetapi juga atas kesadaran kita tentang bagaimana dunia ini bekerja." Dengan memahami bagaimana lobi mencetak kebijakan, kita bisa mulai membayangkan ulang sistem politik-ekonomi yang lebih adil dan inklusif bagi semua, bukan hanya segelintir elite.

Daftar Referensi:

  • Aspinall, E., & Mietzner, M. (2020). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Cornell University Press.

  • Dick, H. (2002). Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000. NUS Press.

  • Nugroho, Y., et al. (2018). Mapping the Digital Ecosystem in Indonesia: From Access to Impact. Centre for Innovation Policy and Governance.

  • Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge.

  • Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.

  • Wright Mills, C. (1956). The Power Elite. Oxford University Press.

  • Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. PublicAffairs.