FENOMENA EFISIENSI KEUANGAN DI BANYAK NEGARA. EFISIENSI BUKAN HANYA DI INDONESIA?

EKONOMI & BISNISOPINI & ANALISISPOLITIK & KEBIJAKAN PUBLIK

4/6/20253 min read

FENOMENA EFISIENSI KEUANGAN DI BANYAK NEGARA. EFISIENSI BUKAN HANYA DI INDONESIA?

Pendahuluan

Ketika pemerintahan Prabowo Subianto mulai menata kebijakan fiskalnya di awal 2025 dengan pemangkasan belanja negara mencapai Rp306 triliun, banyak pengamat menilai ini sebagai sinyal kuat efisiensi keuangan. Namun jika dicermati lebih dalam, langkah ini bukanlah anomali Indonesia semata. Di periode yang sama, negara-negara besar maupun berkembang juga sedang melakukan konsolidasi fiskal. Fenomena ini bukan kebijakan sesaat, melainkan bagian dari perjalanan sejarah dan pemikiran ekonomi global.

Sejarah Berulang: Dari Krisis ke Konsolidasi

Dalam sejarah ekonomi, setiap krisis besar biasanya diikuti dengan fase disiplin fiskal. Setelah Great Depression pada 1930-an, Amerika Serikat melakukan penyesuaian fiskal lewat kebijakan New Deal yang perlahan-lahan digantikan oleh pengendalian defisit pada dekade berikutnya. Setelah Perang Dunia II, negara-negara Eropa Barat juga memperketat pengeluaran negara demi menstabilkan fiskal dan membangun kembali institusi mereka (Crafts, 2014).

Krisis keuangan global 2008 menjadi contoh paling kontemporer. Negara-negara Eropa, terutama Yunani, Spanyol, dan Irlandia, menerapkan kebijakan austerity secara besar-besaran. Dalam buku Austerity (2013), Mark Blyth menjelaskan bagaimana penghematan ini menjadi respons yang dianggap "wajib" oleh para ekonom arus utama dan lembaga internasional demi menjaga kepercayaan investor dan menekan utang.

Pandemi dan Beban Warisan Ekonomi

COVID-19 menjadi pemicu pengeluaran negara yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern. Menurut IMF (2023), selama pandemi, pemerintah di seluruh dunia menggelontorkan lebih dari 13% dari PDB global untuk stimulus dan bantuan sosial. Akibatnya, utang publik meningkat drastis. Misalnya, rasio utang terhadap PDB Amerika Serikat naik ke atas 120%, sedangkan banyak negara berkembang terjebak dalam risiko gagal bayar. Ketika suku bunga mulai naik sejak 2022, biaya membayar bunga utang pun melonjak. Maka, masuk akal jika memasuki 2025, banyak negara mulai mengetatkan sabuk anggaran mereka.

Indonesia: Awal Efisiensi di Era Prabowo

Pemerintah Indonesia di bawah Prabowo mengambil langkah drastis lewat Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025, yang mengamanatkan pemotongan belanja negara sebesar Rp306,69 triliun. Langkah ini menandai awal konsolidasi fiskal setelah periode defisit tinggi selama pandemi dan transisi politik. Menteri Keuangan menegaskan bahwa efisiensi dilakukan tanpa mengorbankan program prioritas nasional, namun menitikberatkan pada belanja yang tidak langsung berdampak ke masyarakat.

Negara-Negara Lain: Fenomena Global

Indonesia tidak sendirian. Beberapa negara lain juga melakukan langkah serupa:

  • Prancis: Memotong pengeluaran sebesar €40 miliar dan menaikkan pajak €20 miliar (Politico.eu, 2025).

  • India: Menargetkan defisit anggaran hanya 4,4% dari PDB di tahun fiskal 2025–2026 (Financial Express, 2025).

  • Amerika Serikat: Di bawah pemerintahan Trump, memangkas anggaran federal, termasuk sektor bantuan luar negeri dan pendidikan.

  • Austria, Arab Saudi, Malaysia, Ghana: Melakukan rasionalisasi subsidi, efisiensi birokrasi, dan evaluasi ulang belanja negara.

Langkah-langkah ini memiliki latar belakang berbeda, tapi intinya sama: memperkuat kredibilitas fiskal di tengah ketidakpastian global.

Analisis Data: Konsolidasi, tapi Seberapa Dalam?

Menurut data OECD (2025), rata-rata rasio defisit terhadap PDB di negara-negara maju turun dari 6,2% di 2023 menjadi 4,1% di kuartal I 2025. Di negara berkembang, penurunan lebih drastis, dari 5,8% ke 3,9%. IMF mencatat, lebih dari 60% negara anggota sedang dalam tahap implementasi atau perencanaan konsolidasi fiskal.

Namun, pertanyaannya bukan hanya apakah negara berhemat, tapi bagaimana mereka berhemat. Joseph Stiglitz (2012) menekankan bahwa penghematan fiskal harus dibarengi dengan perlindungan sosial dan insentif pertumbuhan ekonomi. Jika tidak, efisiensi bisa berubah jadi beban bagi masyarakat miskin.

Kesimpulan: Efisiensi Global, Tantangan Lokal

Efisiensi fiskal di Indonesia era Prabowo adalah bagian dari pola global yang sedang terjadi di 2025. Langkah ini sejalan dengan negara-negara lain yang tengah menata ulang anggarannya pasca pandemi dan gejolak geopolitik. Namun, penting diingat bahwa keberhasilan kebijakan ini tidak hanya diukur dari pengurangan defisit, tetapi juga dari kemampuannya menjaga keseimbangan antara efisiensi dan keadilan sosial.

Referensi

  • Blyth, M. (2013). Austerity: The History of a Dangerous Idea. Oxford University Press.

  • Crafts, N. (2014). "Returning to Growth after War: Lessons from Europe’s Post-1945 Recovery." Journal of Economic Perspectives, 28(1), 3–22.

  • International Monetary Fund. (2023). Fiscal Monitor: Post-Pandemic Fiscal Adjustments.

  • Politico.eu. (2025). "France Plans €40 Billion Budget Cut in 2025".

  • Financial Express. (2025). "India Targets Lower Fiscal Deficit in FY2025-26".

  • Stiglitz, J. (2012). The Price of Inequality. W.W. Norton & Company.

  • OECD. (2025). Global Fiscal Trends Report: Q1 2025.