BRICS TANTANG HEGEMONI G7, SIAPA YANG AKAN MENANG?

OPINI & ANALISIS

Wallersteinov

3/31/20253 分钟阅读

Duel Raksasa: BRICS Tantang Hegemoni G7, Siapa yang Akan Menang?

Pendahuluan: Kapitalisme Global dan Polarisasi Ekonomi Dunia

Dalam lanskap ekonomi dunia yang semakin multipolar, BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) telah muncul sebagai penantang dominasi ekonomi yang selama ini dikendalikan oleh negara-negara G7 (Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Prancis, Italia, dan Jepang). Perlawanan ini bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi semata, melainkan juga tentang pergeseran kekuatan global yang menggoyahkan sistem dunia kapitalis yang telah lama dipertahankan oleh negara-negara pusat (core states) dalam hierarki ekonomi dunia (Wallerstein, 1974).

Hegemoni G7: Warisan Kapitalisme Inti

Sejak akhir Perang Dunia II, negara-negara G7 telah memainkan peran utama dalam membentuk arsitektur ekonomi global, dengan instrumen seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Mereka menetapkan aturan perdagangan, mengontrol aliran modal, dan mendikte kebijakan ekonomi negara-negara berkembang melalui apa yang disebut sebagai "hegemoni koersif" (Harvey, 2005). Dengan sistem ini, negara-negara berkembang tetap berada dalam status periferal (periphery states), yang menyediakan sumber daya mentah dan tenaga kerja murah bagi industri-industri di negara-negara maju.

Neoliberalisme yang dikembangkan oleh G7 semakin memperdalam ketimpangan ini. Dengan mendorong privatisasi dan deregulasi di negara-negara berkembang, mereka memastikan dominasi perusahaan multinasional yang berbasis di Barat, sementara negara-negara Global South tetap berada dalam perangkap ketergantungan ekonomi (Amin, 1990). Namun, dengan kebangkitan BRICS, struktur ini mulai mengalami guncangan.

BRICS: Perlawanan dari Semi-Periphery

Dalam perspektif sistem dunia, BRICS dapat dikategorikan sebagai negara-negara semi-periphery—mereka bukan bagian dari inti kapitalisme global, tetapi juga bukan negara miskin yang sepenuhnya bergantung pada negara-negara maju. Justru, mereka adalah kekuatan ekonomi yang cukup besar untuk menantang dominasi Barat, tetapi tetap menghadapi tantangan internal dalam mencapai status ekonomi inti (Arrighi, 2007).

China, misalnya, telah menjadi pusat manufaktur dunia dan mulai mendikte aturan ekonomi global melalui proyek ambisius seperti Belt and Road Initiative (BRI), yang menawarkan alternatif bagi negara-negara berkembang di luar pengaruh IMF dan Bank Dunia (Hung, 2016). Rusia, meskipun terjebak dalam sanksi ekonomi Barat, tetap memainkan peran penting dalam geopolitik energi dunia. India, Brasil, dan Afrika Selatan juga berupaya memperkuat peran mereka dalam perekonomian global dengan memperluas jaringan perdagangan selatan-selatan (Global South).

Perang Mata Uang: De-Dolarisasi sebagai Senjata BRICS

Salah satu bentuk perlawanan BRICS terhadap hegemoni G7 adalah upaya de-dolarisasi. Dominasi dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia telah menjadi alat kontrol bagi Amerika Serikat untuk menekan negara-negara berkembang melalui mekanisme sanksi ekonomi dan kebijakan moneter (Eichengreen, 2011). Dengan mendirikan New Development Bank (NDB) dan meningkatkan transaksi dalam mata uang lokal, BRICS berusaha menciptakan sistem keuangan alternatif yang mengurangi ketergantungan pada sistem yang didominasi oleh Barat.

Namun, pertanyaannya tetap: sejauh mana BRICS dapat benar-benar mendisrupsi sistem global yang telah berakar selama puluhan tahun? Meskipun mereka memiliki kekuatan ekonomi yang meningkat, mereka juga menghadapi tantangan besar, termasuk perbedaan kepentingan nasional di antara anggota-anggotanya dan tekanan eksternal dari negara-negara inti yang berusaha mempertahankan status quo.

Kesimpulan: Menuju Dunia Multipolar atau Hegemoni Baru?

Persaingan antara BRICS dan G7 bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang konfigurasi ulang kekuatan global. BRICS menawarkan alternatif bagi negara-negara berkembang untuk melepaskan diri dari dominasi ekonomi Barat, tetapi mereka juga harus membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pengganti dari sistem eksploitatif yang sama dalam wajah yang berbeda.

Dengan kata lain, apakah BRICS akan membawa dunia menuju tatanan multipolar yang lebih adil, atau mereka hanya akan menjadi oligarki baru yang menggantikan dominasi lama? Dalam konteks sistem dunia, perubahan hegemon tidak selalu berarti akhir dari eksploitasi—hanya pergeseran dari satu kelompok elite ke kelompok lainnya (Wallerstein, 2004). Namun, bagi negara-negara Global South, tantangan utama tetaplah bagaimana mereka dapat menggunakan dinamika ini untuk membangun sistem ekonomi yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Referensi:

  • Amin, S. (1990). Delinking: Towards a Polycentric World. Zed Books.

  • Arrighi, G. (2007). Adam Smith in Beijing: Lineages of the Twenty-First Century. Verso.

  • Eichengreen, B. (2011). Exorbitant Privilege: The Rise and Fall of the Dollar and the Future of the International Monetary System. Oxford University Press.

  • Harvey, D. (2005). A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press.

  • Hung, H. (2016). The China Boom: Why China Will Not Rule the World. Columbia University Press.

  • Wallerstein, I. (1974). The Modern World-System I: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century. Academic Press.

  • Wallerstein, I. (2004). World-Systems Analysis: An Introduction. Duke University Press.