PERANG DAGANG AS-CHINA: INDONESIA DIUNTUNGKAN ATAU TERJEPIT?

OPINI & ANALISIS

Mearsheimerian

3/31/20253 分钟阅读

Pendahuluan: Geopolitik dalam Perang Ekonomi

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China bukan sekadar persaingan tarif dan kebijakan ekonomi, tetapi juga merupakan manifestasi dari rivalitas geopolitik antara dua kekuatan besar. Sejak 2018, kebijakan proteksionisme AS di bawah kepemimpinan Donald Trump memicu eskalasi ketegangan dengan China, yang merespons dengan tarif balasan serta strategi ekonomi jangka panjang melalui inisiatif Belt and Road (B&R). Dalam konteks ini, negara-negara berkembang seperti Indonesia menghadapi dilema strategis: apakah dapat mengambil keuntungan dari ketegangan ini, atau justru terjebak dalam persaingan antara dua kekuatan hegemonik?

Sejarah Perang Dagang dan Implikasinya bagi Indonesia

Perang dagang AS-China memiliki akar historis yang panjang dalam konteks perubahan arsitektur ekonomi global. Setelah Perang Dunia II, AS berperan sebagai arsitek sistem perdagangan bebas dunia melalui Bretton Woods, sementara China baru mulai bangkit sebagai kekuatan ekonomi global setelah Reformasi Ekonomi Deng Xiaoping pada 1978 (Naughton, 2018). Keanggotaan China dalam WTO pada 2001 semakin mempercepat transformasi global dengan menjadikan China sebagai pabrik dunia.

Namun, pertumbuhan ekonomi China yang pesat dan ambisi teknologinya melalui Made in China 2025 mengancam dominasi AS, yang kemudian merespons dengan kebijakan proteksionis seperti tarif tinggi terhadap produk China, pembatasan investasi teknologi, serta tekanan terhadap sekutu-sekutunya untuk membatasi hubungan ekonomi dengan China (Bown, 2020). Bagi Indonesia, yang memiliki hubungan ekonomi erat dengan kedua negara, situasi ini menimbulkan tantangan sekaligus peluang.

Indonesia dalam Bayangan Kompetisi Kekuatan Besar

Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara dan bagian dari rantai pasok global, Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap perdagangan dengan AS maupun China. Pada 2022, China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai perdagangan mencapai USD 133 miliar, sementara AS menempati posisi kedua dengan USD 44,2 miliar (BPS, 2023).

Di satu sisi, perang dagang dapat menguntungkan Indonesia dengan meningkatkan ekspor komoditas seperti minyak sawit, batu bara, dan karet, karena China mencari alternatif sumber daya akibat pembatasan dari AS (Amir, 2021). Selain itu, beberapa perusahaan multinasional yang ingin menghindari tarif tinggi akibat perang dagang memilih untuk merelokasi pabrik mereka dari China ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.

Namun, di sisi lain, ketergantungan tinggi terhadap China juga berisiko bagi Indonesia, terutama dalam aspek utang infrastruktur yang meningkat melalui proyek B&R (Setiawan, 2022). Selain itu, tekanan AS terhadap negara-negara mitranya untuk mengurangi hubungan ekonomi dengan China juga menempatkan Indonesia dalam posisi yang sulit secara diplomatis.

Strategi Realpolitik: Memanfaatkan Situasi Tanpa Terjebak

Dalam paradigma realisme politik, negara bertindak berdasarkan kepentingan nasional dan keseimbangan kekuatan (Mearsheimer, 2001). Oleh karena itu, Indonesia harus menerapkan strategi yang memungkinkan eksploitasi keuntungan dari perang dagang tanpa terseret dalam konflik yang lebih luas.

  1. Diversifikasi Pasar dan Mitra Dagang

    Indonesia harus memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara di luar AS dan China, seperti Uni Eropa dan Jepang, guna mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap dua kekuatan besar ini.

  2. Meningkatkan Daya Saing Industri Domestik

    Dengan mendorong kebijakan industrialisasi berbasis teknologi dan investasi dalam infrastruktur manufaktur, Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi asing yang keluar dari China.

  3. Memainkan Kartu Diplomasi Ekonomi

    Indonesia dapat menggunakan ASEAN sebagai blok negosiasi dalam menghadapi tekanan dari AS maupun China, serta memanfaatkan keanggotaan dalam forum seperti G20 untuk mendorong kepentingannya di tingkat global.

Kesimpulan

Perang dagang AS-China bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga merupakan bagian dari perebutan dominasi global. Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi tantangan besar namun juga memiliki peluang untuk memperkuat posisinya sebagai kekuatan ekonomi regional. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat menghindari jebakan rivalitas kekuatan besar dan justru memanfaatkan ketegangan ini untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Sebagaimana yang diajarkan oleh realisme politik, yang terpenting bukanlah keberpihakan, tetapi bagaimana sebuah negara dapat memainkan kepentingannya di tengah dinamika kekuatan global.

Daftar Pustaka

  • Amir, S. (2021). Trade Wars and Economic Shifts in Southeast Asia: A Case Study of Indonesia. Jakarta: UI Press.

  • Bown, C. (2020). The US-China Trade War: Tariff Actions, Retaliatory Responses, and Outcomes. Journal of Economic Perspectives, 34(4), 57-81.

  • Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Statistik Perdagangan Indonesia 2022. Jakarta: BPS.

  • Mearsheimer, J. (2001). The Tragedy of Great Power Politics. New York: W.W. Norton & Company.

  • Naughton, B. (2018). The Chinese Economy: Adaptation and Growth. Cambridge: MIT Press.

  • Setiawan, R. (2022). China’s Belt and Road Initiative in Indonesia: Economic Gains or Debt Trap?. Indonesian Economic Review, 10(1), 45-63.